M erdeka belajar belakangan begitu hits dan populer dikalangan dunia pendidikan. Guru, dosen, kepala sekolah dan elemen-elemen pendidik lai...

MERDEKA BELAJAR = MERDEKA MENGAJAR?

Merdeka belajar belakangan begitu hits dan populer dikalangan dunia pendidikan. Guru, dosen, kepala sekolah dan elemen-elemen pendidik lainnya. Begitu viral dan menyebar luas. Terdengar keren dan extraordinary. Suatu gagasan dari menteri pendidikan baru kita Mr. Nadiem Makarim yang menjadi menteri termuda dalam kabinet Indonesia Maju. Memang belajar itu seharusnya menyenangkan dan bebas merdeka. Apalagi di era 4.0 ini. Belajar merupakan kewajiban setiap manusia bahkan. Jadi teringat dengan Yelin kusuma. Dosen salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta. Yang memiliki tiga belas gelar akademik.

Fantastis bukan? Ya dan masih banyak lagi orang Indonesia yang memiliki gelar akademik yang bejibun. Mereka bagi sebagian orang mungkin terdengar berlebihan. Tapi bagi saya itu pencapaian luar biasa. Itu baru yang bergelar resmi. Kita belum tahu diluar gelar akademis itu. Pasti pembelajaran mandirinya lebih dahsyat lagi. Memang seharusnya belajar itu harus menjadi kebutuhan layaknya makan dan minum. Belajar itu hak dan kebutuhan otak dan pikiran sebagai softwarenya. Banyak dari kita khususnya pendidik, guru, dosen dll. Malas belajar. Oke mungkin itu terlalu kasar. Tapi banyak dari kita malas untuk membaca buku. Karena membaca buku itu butuh konsentrasi tinggi dan waktu yang tidak sedikit. Padahal membaca itu sangat penting. Tapi kan sudah ada smartphone. Bisa membaca digital biar kelihatan keren. Oh ya saya lupa. Saya juga punya smartphone bahkan semua manusia di bumi Indonesia ini juga pasti menggunakannya. Mayoritas. Tapi bagi saya membaca buku fisik masih lebih asyik. Bebas radiasi, bebas listrik. Bisa dilakukan dimana saja. Kekurangannya hanya satu. Berat dan tidak praktis. Hanya alasan untuk tidak membaca buku.

Pembukaannya cukup panjang ya. Oke, kembali ke judul tulisan ini. Merdeka belajar apakah iya selama ini murid pembelajar kita tidak merdeka belajar? Malah sebaliknya anak-anak kita kebanyakan tidak suka belajar. Karena membosankan. Yang lebih menyedihkan lagi merasa belajar itu tidak penting? Astaga ampuni hamba Tuhan. Manusia tanpa disadari sebenarnya hidup penuh dengan belajar. Disini pendidik harus menyadari dan introspeksi diri. Belajar itu tidak hanya di sekolah. Belajar itu kewajiban apalagi bagi seorang Muslim yang sadar. Kita belajar dari sejarah. Belajar bahkan dari murid kita sendiri. Bagaimana sabarnya mereka menghadapi guru yang galak misalnya. Itu semua belajar. Bahwa tidak hanya guru saja yang harus sabar. Murid kita anak-anak kita juga belajar sabar. Mengikuti proses tahap demi tahap mulai masuk gerbang sekolah. Masuk kelas sampai pulang dari sekolah. Semua itu butuh kesadaran sendiri. Merdeka belajar itu seperti apa? Menurut pikiran sederhana saya. Merdeka belajar itu bagaimana anak-anak dapat belajar dengan senang dan gembira. Menjadikan kegiatan pembelajaran itu sebagai suatu petualangan ilmu pengetahuan dan hidup. Menjadikan rasa penasaran dan keingintahuan yang menggebu itu sebagai doping mereka untuk belajar dari gurunya. Jadi suasana sekolah dan kelas itu menjadi hidup. Murid kita itu menjadi penasaran ketika esok harinya. Sebelum gurunya masuk kelas mereka bertanya kira-kira apa pertanyaan pertama yang keluar dari gurunya.




Mindset atau pola pikir inilah yang seharusnya kita tanamkan kepada anak didik kita. Teknisnya kembali kepada individu gurunya masing-masing. Dalam hal ini saya sebagai guru masih merasa kurang dalam menumbuhkan minat belajar anak yang tinggi. Boro-boro gurunya aja malas membaca. Maka saya harus memaksa diri untuk belajar dan terus belajar. Membaca buku dan sumber informasi lain untuk mengembangkan diri sebagai tenaga pendidik ternyata sangat penting. Guru kadang berpikir sudah merasa paling segala tahu. Padahal hanya mengulang apa yang selalu dia ajarkan kepada muridnya. Tidak heran kalau murid itu merasa jenuh dengan cara kita mengajar. Tidak perlu menilai guru lain, orang lain dulu. Apalagi menyalahkan cara mengajar guru lain. Saya harus memarahi dan mengkritik diri sendiri dulu. Benerin diri sendiri aja dulu. Bahkan kalau sudah benar yang saya lakukan, bukan berarti saya punya hak untuk menilai orang lain. Tidak! Tetap rendah hati dan tersenyum menghadapi kemungkinan buruk yang kita akan hadapi.

Guru juga harus merdeka belajar. Artinya apa yang dimilikinya saat ini belum seberapa. Selalu merasa belum berilmu. Sehingga guru itu akan belajar, mengembangkan diri dengan bisa dimulai dari membaca buku. Atau melakukan kebiasaan baru yang positif. Kebiasaan atau habit baru yang berdampak pada diri sendiri. Dalam hal ini saya sedang berusaha untuk banyak membaca buku yang dapat menjadikandiri saya khususnya sebagai guru lebih baik lagi pribadinya dan memegang teguh prinsip “Longlife Education”

Merdeka Mengajar. Artinya sebagai guru itu harus kreatif dalam memberikan transfer ilmu dan mendidik anak didik. Merdeka dalam menyampaikan materi pembelajaran yang menyenangkan dan fun. Merdeka dalam mengembangkan materi pembelajaran. Merdeka dalam mengembangkan metode mengajar yang lebih baik lagi. Semua itu bisa dilakukan jika guru juga memiliki pola pikir yang merdeka. Tidak merasa terkungkung dengan sistem yang ada saat ini misalnya. Apapun kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Harus bisa merdeka dalam menjalankan tugasnya. Seperti prinsip Bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara. Jadikan setiap tempat sekolah, dan jadikan setiap orang guru. Dari sana kita bisa terapkan bahwa belajar dimana saja kapan saja. Setiap momen adalah pembelajaran. Minimal untuk diri sendiri. Salam Mengajar!       

0 Post a Comment: